Richard Mainaky Kenang Perjuangan Jatuh-Bangun Tontowi Ahmad

Kepala Pelatih Ganda Campuran PBSI Richard Mainaky merupakan salah satu orang di balik sukses Tontowi Ahmad, pemain spesialis ganda campuran yang baru saja memutuskan untuk mundur dari panggung bulutangkis. Richard bercerita panjang mengenai anak didiknya tersebut kepada Badmintonindonesia.org. Berikut petikan wawancaranya.

Apa yang disampaikan Tontowi kepada Coach Richard sebelum memutuskan untuk pensiun?

Sebetulnya sudah jauh-jauh hari kami diskusi panjang lebar sama Owi (Tontowi), saya bilang keputusan ada di tangan kamu, kalau sudah bulat keputusannya, segera ajukan ke PBSI. Tadi pagi dia kirim pesan di Whatsapp dan menunjukkan surat yang sudah disampaikan ke PBSI hari ini.

Waktu ke rumah saya itu dia sempat ngobrol dengan mendalam mengenai rencananya dia ke depan sambil kita makan bareng. Owi minta dimasakin ikan Tude bakar sama istri saya, memang itu kesukaannya dia dari dulu. Saya sering bawain makanan ini ke pelatnas.

Sejak kapan Tontowi ada pembicaraan untuk pensiun?

Ngobrolnya sudah cukup lama, sebulan dua bulan lalu. Setelah Butet (Liliyana Natsir) mundur pun, Owi sudah bicara juga gimana baiknya untuk dia. Waktu itu saya bilang kalau kamu masih mau, ayo kita coba sama pemain muda, lalu dicoba sama Winny (Oktavina Kandow).

Sebenarnya hasil mereka tidak jelek, belum setahun mereka sudah masuk peringkat 16 besar dunia. Saya bilang sama Owi, kalau mau nanjak lagi prestasinya sama Winny, maka Owi harus latihannya nggak bisa lagi seperti dulu, tapi bahkan harus lebih dari yang dulu.

Owi sudah coba. Dulu dia di latihan sudah sangat luar biasa, menurut saya komplit, dia ikuti semua program latihan yang diberikan. Tapi waktu itu dia didukung sama seorang Butet yang punya pengalaman, skill tinggi, sekarang dia harus meng-cover pemain muda yang belum punya pengalaman sama sekali, masih butuh jam terbang.

Sebelum memutuskan pensiun, Tontowi sempat mencoba peluang lain juga dan akhirnya dipasangkan bersama Apri?

Sebetulnya Winny oke lah, dia masih muda, kuat dan punya keberanian. Nah, kalau Owi kan sudah punya nama, ini nggak mudah buat Owi. Permainan Owi/Winny lama-lama sudah dibaca lawan, semakin sulit buat Owi.

Owi lalu ngobrol sama saya dan Nova (Widianto), mau coba sama pemain lain, sama Apri (Apriyani Rahayu) katanya. Ya sudah dicoba dulu, kalau memang Owi sudah merasa sudah tidak bisa sama Winny. Tapi waktu dicoba di Indonesia Masters 2020, hasilnya masih jauh dari harapan. Latihan nggak pernah, Apri juga fokus buat Olimpiade Tokyo 2020 di ganda putri (bersama Greysia Polii). Buat Owi sendiri, lolos ke Olimpiade Tokyo pun waktu itu berat karena poinnya masih jauh. Hal-hal ini yang membuat Owi berpikir kayaknya sudah cukup

Sebelum pensiun, kesulitan yang dialami Tontowi lebih dari faktor motivasi atau faktor usia?

Dulu waktu masih pasangan sama Butet, dia mau latihan seberat apapun, apa yang dilatih hasilnya menunjang sekali di pertandingan. Tapi tantangannya jadi lebih banyak saat pasangan sama Winny. Motivasi sebetulnya ada, sudah dicoba dan dia mau latihan dengan durasi panjang sampai jam dua siang.

Tapi faktor usia memang tidak bisa dipungkiri. Kedua, Owi dari ‘atas’ turun ke ‘bawah’, ini jadi pergumulan buat dia dan saya rasa ini manusiawi. Nggak gampang, dari juara olimpiade, lalu harus meng-cover pemain muda, latihan mulai lagi dari nol.

Coach Richard sudah lama sekali melatih Tontowi, bagaimana awalnya membina seorang Tontowi sampai jadi pemain elit dunia?

Waktu itu Nova yang berpasangan sama Liliyana memutuskan pensiun dan saya harus cari pemain muda buat dipasangkan sama Butet. Pilihannya waktu itu ada Owi, Muhammad Rijal dan Devin Lahardi. Saya coba ketiganya dipasangkan dengan Butet dan memang hasilnya bagus semua. Tapi feeling saya mengatakan Owi yang paling cocok sama Butet, dan Butet sendiri juga paling sreg sama Owi. Saya bersyukur juga PBSI waktu itu percaya dengan keputusan yang saya ambil.

Sempat banyak pertanyaan kenapa saya pilih Owi karena memang waktu itu dia tidak begitu meyakinkan, terutama footwork-nya yang kurang. Owi memang berkharisma, tapi lainnya masih nol waktu itu.

Lalu apa yang Coach Richard lakukan untuk membuktikan bahwa Tontowi berpotensi menjadi pemain besar?

Kerjasama saya dan Owi jadi lebih mudah karena Owi itu penurut, dia mau menjalankan apa yang dianjurkan oleh pelatih. Saat tahu kekurangan di footwork, maka itu yang dilatih terus supaya menunjang bola-bola atasnya juga.

Kemudian Owi bisa menjadi pemain yang tekniknya di atas rata-rata, penempatan bolanya bagus. Tapi Owi memang paling bagus itu bola-bola atasnya. Beda sama Praveen (Jordan) yang sekali smash lawannya langsung tumbang karena power-nya, kalau Owi itu serangannya lebih tajam dan cepat.

Owi juga pemain yang pintar, kalau smash itu dia bisa incar lawannya, dia smash di waktu yang tepat dan mengarah.

Momen emas Olimpiade Rio 2016 tentunya menjadi momen terindah buat Coach Richard dan Owi bersama Butet, apalagi ada tantangan non-teknis juga sebelum olimpiade, bisa diceritakan lagi kesan-kesannya, Coach?

Kenangan paling indah itu memang di olimpiade, tapi saya rasa sepaket dengan dua Kejuaraan Dunia tahun 2013 dan 2017 serta hat-trick All England tahun 2012, 2013 dan 2014. Olimpiade memang berkesan karena kan itu empat tahun sekali.

Tekanan menuju olimpiade sangat besar, jangankan pemain, saya sebagai pelatih juga merasakan tekanan dan sempat emosional di suatu turnamen. Jadi saat itu baik Owi maupun Butet sama-sama sensitif.

Yang satu teledor, ditegur sama yang satu lagi. Yang satu merasa nggak terima, merasa kalau nggak ada saya kan dia juga nggak bisa juara. Hal-hal seperti ini yang sebetulnya masalahnya di komunikasi, karena sebetulnya mereka berdua kan punya tujuan yang sama.

Saya sama Nova sudah coba ngomong sama mereka satu-satu, tapi hasilnya tidak terlalu bagus. Jadi saya ajukan ke Rexy (Mainaky) yang waktu itu jadi Kabid Binpres di PBSI, agar ada psikolog yang menengahi mereka.

Akhirnya ditugaskanlah pak Rachman Widohardhono, psikolog PBSI, untuk menangani Owi/Butet. Dari situ mulai digali dan mereka bicara banyak, sudah mulai ada pengertian, ada komitmen sehingga ada jalan.

Coach Richard pernah bilang bahwa training camp olimpiade di Kudus menjadi salah satu momen yang memperkuat kekompakkan Owi/Butet?

Betul, apa yang sudah kami kerjakan bersama psikolog sudah mulai menunjukkan kemajuan. Owi/Butet makin kuat lagi bonding-nya selama di training camp di Kudus. Selama karantina itu, saya meminta pertolongan dari koh Chris (Christian Hadinata) untuk kasih wejangan sama mereka berdua. Waktu itu ada Minarti (Timur) juga yang sudah punya pengalaman di olimpiade.

Ada satu kata koh Chris yang sangat menggugah buat Owi/Butet, tapi saya lihat lebih ngena ke Owi. Koh Chris bilang mereka itu soulmate, belahan jiwa. Owi belahan jiwanya Butet, begitu juga sebaliknya. Apa yang mereka lakukan, akan berpengaruh untuk mereka berdua.

Sekarang kalau Butet kasih tahu Owi, bukannya marah, tapi namanya orang Manado kan kalau ngasih tahu mungkin terdengar tegas. Saya juga sebagai orang Timur juga sering begitu, ngasih tahu anak saya seperti lagi marah padahal tidak.

Saya lihat setelah itu Owi jadi lain, makanya di olimpiade mereka seperti nggak ada celah. Semua pertandingan sampai final diselesaikan dengan baik.

Owi/Butet sampai merepotkan musuh bebuyutan mereka waktu itu, Zhang Nan/Zhao Yunlei (Tiongkok). Zhang/Zhao sebelumnya kompak, tapi jelang olimpiade sempat kelihatan tidak harmonis di lapangan. Sebaliknya Owi/Butet dari jauh-jauh hari berantem, tapi pas olimpide akur banget, ya jadi sulit mengalahkan mereka.

Coach Richard tentunya merasa bangga saat Owi/Butet bisa dapat gelar-gelar prestisius yang diimpikan semua atlet yaitu emas olimpiade, gelar kejuaraan dunia serta gelar All England yang bergengsi?

Saya bersyukur tim ganda campuran punya feel di kejuaraan-kejuaraan itu (olimpiade, kejuaraan dunia dan All England). Kami dapat hasil yang cukup baik di situ. Waktu di Olimpiade Rio 2016 saya ingat waktu Owi/Butet harus ketemu sama Praveen (Jordan)/Debby (Susanto) di perempat final, banyak tim negara lain yang senang karena salah satu wakil Indonesia pasti terhenti. Memang persaingannya sangat ketat, bahkan sesama pemain Indonesia, saya sempat khawatir juga Praveen/Debby kasih perlawanan sengit ke Owi/Butet karena mereka pun punya ambisi.

Mudah-mudahan tren di kejuaraan-kejuaraan bergengsi ini bisa dilanjutkan pemain-pemain ganda campuran lainnya. Sudah ada Praveen yang dapat dua gelar All England waktu bersama Debby dan satu lagi bersama Melati (Daeva Oktavianti), semoga ke depannya bisa dapat hasil bagus di kejuaraan dunia dan olimpiade.

Sebagai penutup, apa pesan-pesan Coach Richard kepada Owi?

Saya berharap apapun yang dilakukan Owi setelah ini, lakukan seperti dia berjuang di lapangan bulutangkis, berjuang dari nol sampai jadi seseorang. Owi harus bisa tetap jaga reputasi, rendah hati dan jangan sombong, Di dunia bulutangkis, orang lihat kita ada di ‘atas’, begitu keluar dari bulutangkis, kita bukan siapa-siapa lagi, bukan bintang lagi, jadi harus pintar-pintar membawa diri, pintar bergaul juga. (*)