(Jelang Olimpiade Tokyo 2020) Persembahkan Perak Olimpiade, Hendrawan Sempat Merasa Gagal

(Manila, 17/2/2020)

Olimpiade merupakan puncak karier seorang atlet, semua atlet tentunya bermimpi untuk naik podium juara di event olahraga terbesar di dunia. Mimpi, harapan dan cita-cita inilah yang menjadi motivasi terbesar Hendrawan, pemain tunggal putra yang mempersembahkan medali perak untuk Indonesia di Olimpiade Sydney 2000.

Hendrawan mendapat perak setelah di final ia dikalahkan Ji Xinpeng (Tiongkok), dengan skor 4-15, 13-15.

Persaingan ketat otomatis menjadi tantangan tiap atlet jelang olimpiade. Hendrawan tak hanya bersaing dengan pemain dari negara lain, tapi juga dengan rekan senegara sendiri. Saat itu lima tunggal putra Indonesia berlomba-lomba masuk peringkat empat besar untuk merebut tiga tiket olimpiade. Mereka adalah Taufik Hidayat, Marlev Mainaky, Hendrawan, Hariyanto Arbi dan Budi Santoso.

Taufik, Marlev dan Hendrawan akhirnya berhasil lolos ke olimpiade. Perjuangan Hendrawan untuk lolos ke olimpiade ternyata tidaklah mudah. Jalannya cukup terjal, apalagi ia sempat menderita penyakit tifus beberapa bulan sebelum olimpiade yang membuatnya harus absen di dua turnamen jelang olimpiade.

"Waktu itu saya saingan sama Budi dan Hari, masih ada lima turnamen, tapi saya kena tifus dan kehilangan kesempatan di dua turnamen. Jadi sisa turnamennya hanya All England, Swiss Open dan Japan Open 2000. Saya bertekad, minimal harus masuk semifinal kalau mau lolos, untungnya hasilnya bisa lebih baik," ungkap Hendrawan.

"Lagi ngejar poin ke olimpiade lalu sakit, itu rasanya down sekali. Lalu saya berkomitmen, saya harus bisa pulih, atau kesalip teman-teman saya sendiri. Untuk jadi pemain top dunia, atlet itu harus melewati batas tertentu, itu tantangannya, bisa atau tidak melewatinya? Atau mau menyerah dan pasrah dengan keadaan?" ujarnya dalam bincang-bincang bersama Badmintonindonesia.org.

Usai pulih dari tifus, fisik Hendrawan pun menurun. Untuk mengejar ketertinggalannya, saat itu Paulus, pelatih fisiknya, membuatkan program latihan bersama atlet lari DKI Jakarta saat itu.

"Saya latihan lari di bukit Senayan yang naik turun. Waktu itu pelarinya kaget, kok saya bisa mengikuti pace-nya dia? Padahal kata dia itu program persiapan pertandingan atlet lari. Itulah yang namanya pengorbanan. Saya sadar kalau soal kuat, mungkin saya tidak sekuat pemain lain, makanya saya latih semua kekurangan saya, dan usaha lebih," jawab Hendrawan.

Berlaga di olimpiade dirasakan Hendrawan sebagai pengalaman luar biasa. Ia sadar bahwa Olimpiade Sydney 2000 akan menjadi olimpiade pertama dan terakhir untuknya. Hendrawan masuk pelatnas di usia 21 tahun, usia yang bisa terbilang terlambat, rata-rata atlet masuk pelatnas di usia yang lebih muda.

"Saya sadar kalau waktu saya tidak lama, saya harus bisa atur peak performance saya di kejuaraan penting, termasuk olimpiade. Kenapa pressure di olimpiade besar sekali? Karena kalau nggak berhasil ya nunggu empat tahun lagi. Musuh terbesar di olimpiade itu adalah situasi dan kemauan kita. Kalau terlalu mau juga nggak boleh, harus semangat, tapi tidak boleh menggebu-gebu, mengatur ini yang nggak gampang," ungkap Hendrawan.

Persembahkan medali perak untuk Indonesia di Olimpiade Sydney 2000, dirinya sempat merasa gagal. Hendrawan merasa dengan target emas yang diberikan kepada tim bulutangkis, menjadi nomor dua artinya gagal. Saat itu Indonesia dapat emas dari ganda putra Candra Wijaya/Tony Gunawan.

"Di Indonesia, medali perak, perunggu itu artinya gagal, karena tradisi kita emas olimpiade. Saya sendiri memang merasa gagal. Waktu cerita dengan teman di cabor lain, dia bilang saya tidak boleh berpikir begitu, karena kita adalah olympian, masuk olimpiade saja nggak gampang, apalagi dapat medali," tutur mantan pemain kelahiran Malang, 27 Juni 1972 ini.

"Tapi di bulutangkis kan nggak begitu, kami ditarget emas. Contohnya Tontowi (Ahmad)/Liliyana (Natsir), kalau waktu itu nggak dapat emas, pasti dibilang gagal juga. Karena target dan tradisinya sudah emas," lanjutnya.

Kedisiplinan Hendrawan saat menjadi atlet ternyata masih terbawa hingga saat ini. Dikatakan Hendrawan, demi menjaga kondisi fisiknya, ia mengatur pola makan dan jam istirahatnya. Ia selalu tidur pukul 21.00 setiap malam, bahkan hingga kini saat ia menjadi pelatih, kebiasaan ini masih sama.

"Dulu saya harus tidur cepat, karena paginya kan ada tambahan latihan. Saya bangun pagi pukul 04.30 dan latihan tambahan jam 5 pagi. Lalu siang ke sore latihan lagi dan kadang malam latihan lagi. Satu hari bisa sampai tiga sesi," ujar Juara Dunia 2001 ini.

Hendrawan mengatakan bahwa untuk jadi top player, harus ada batasan yang dilewati pemain. Saat ini Hendrawan menjadi Kepala Pelatih Tunggal Putra di timnas Malaysia. Puluhan tahun memiliki pengalaman melatih, Hendrawan berpesan kepada para pemain untuk lebih mandiri dan berkorban lebih demi kesuksesan.

"Semua itu datang dari diri kita sendiri, pelatih bisa mengantar kita ke satu titik, tapi sisanya harus pemain sendiri yang usaha, cari jalan sendiri. Dalam perjalanan menuju sukses, pelatih akan bimbing, kasih masukan, cerita pengalaman, tapi semua tergantung atletnya, dia yang menentukan," jelasnya.

"Ada pelatih yang menakutkan, tapi ingat, tidak ada pelatih yang bisa menjamin atlet menjadi juara. Saya tidak mau jadi pelatih yang ditakuti, di depan kita saja nurut, di belakang kita ya nggak dengerin," sebut Hendrawan yang pernah menjadi pelatih tunggal putri pelatnas.

Sebagai pelatih, Hendrawan tak hanya memberi bimbingan soal bulutangkis, tapi juga banyak menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada atlet-atletnya, termasuk saat melatih Lee Chong Wei, pemain tunggal putra terbaik Malaysia. 

"Karakter kuat itu adalah hal penting, banyak atlet sekarang yang nggak bisa jadi top player, karena dia tidak punya karakter yang kuat," tutup Hendrawan. (*)