Nitya: Saya Belum Bisa Tinggalkan Bulutangkis

(Jakarta, 9/1/2019)

Nitya Krishinda Maheswari kini punya kegiatan baru di Pelatnas Cipayung. Setelah tak lagi menjadi pemain, Nitya kini mendampingi Kepala Pelatih Ganda Putri PBSI, Eng Hian dan Asisten Kepala Pelatih Ganda Putri PBSI, Chafidz Yusuf.

Peraih medali emas Asian Games Incheon 2014 bersama Greysia Polii ini sudah mulai terlihat membantu melatih para pemain pelapis di skuad tim utama ganda putri.

Simak petikan wawancara Badmintonindonesia.org bersama Nitya.

Bagaimana awalnya memutuskan untuk jadi pelatih?

Mungkin saya udah nggak akan main, tapi saya pikir ada hal yang bisa saya bagi, hal apapun dalam bentuk sharing, atau program latihan yang pernah saya dapat, bisa diterapkan dengan cara begini, begitu. Sebetulnya lebih ke sharing sih, bukannya menggurui.

Apa rasanya melatih?

Pasti beda, kalau pemain itu tanggungjawabnya misalnya telat bangun pagi, telat latihan. Sebagai pelatih bukan berarti tidak ada tanggungjawab, malah lebih besar tanggungjawabnya, membimbing atlet untuk jadi lebih baik itu tidak gampang. Walaupun baru merasakan, jadi tahu, oh begini toh rasanya jadi koh Didi (panggilan akrab Eng Hian).

Kami tidak bisa membiarkan atlet dikasih program dan dijalani begitu saja, benar-benar harus dilihat, mereka gerakannya benar nggak, ngelakuinnya pas atau enggak, jadi sekarang lebih detail.

Memang pernah terpikir mau jadi pelatih setelah pensiun?

Dulu nggak kepikiran jadi pelatih, mikirnya saya sebagai atlet ya all out, latihan yang benar, kasih prestasi semampu saya. Kemarin ada waktu kosong setelah cedera, saya kepikiran, apa enak ya nggak ada kegiatan lagi?

Tapi di sisi lain saya masih nggak bisa kalau nggak di bulutangkis. Dengan adanya tawaran dari koh Didi seperti ini, oh saya jadi bisa memberi untuk PBSI, untuk negara, dalam konteks berbeda tapi di bidang yang sama.

Menurut Nitya, apa tantangan terbesar di tim ganda putri?

Sebenarnya sih ganda putri tidak susah banget ya, lebih ke tanggungjawab anak-anaknya, makin ke sini cuma, oke saya latihan, diberangkatkan ke pertandingan, hasilnya menang-kalah, ya sudah.

Tapi mereka agak kurang dari segi tanggungjawab ke diri sendiri. Ini sangat luas, misalnya bangun pagi, dari hal-hal kecil. Misalnya telat latihan, dari sini sudah mulai kelihatan.

Lalu soal kemauan. Semua atlet pasti punya kemauan untuk juara. Tapi bisa kelihatan, mana yang cuma mau doang, mana yang mau dan benar-benar mau menjalankan. Apalagi saya dan koh Didi yang pernah mengalami sebagai pemain, jadi kami tahu kalau atlet ini benar-benar atau sekadar menjalankan saja. Atlet kadang belum bisa memahami, latihan ini untuk ini, latihan ini manfaatnya untuk ini.

Apakah Nitya banyak konsultasi dengan para pelatih lain, misalnya coach Vita (Marissa) yang berangkat dari pemain juga?

Sejauh ini baru banyak sharing sama koh Didi, karena beliau tahu pribadi saya seperti apa, pernah melatih saya juga.

Apa kendalanya yang dihadapi dalam beberapa hari melatih?

Masih baru banget ya, jadi saya belum bisa menilai apa-apa. Saya nggak mau terlalu membatasi diri, bikin gap, bahwa saya bukan pemain lagi, nanti gimana gimana. Malah nanti anak-anaknya tidak nyaman ke saya. Pasti ada batasan, tapi nggak terlalu kelihatan.

Kalau diminta untuk mendampingi pemain bertanding di lapangan, apakah sudah siap?

Kalau diminta, ya saya mengikuti. Tanggungjawab saya kan sudah beda, mungkin itu jadi tantangan buat saya. Dulu saya yang dikasih tahu, sekarang sudah punya pengalaman bagaimana sih suasana di pertandingan. (*)