PBSI Gencar Jalankan Program Pengembangan Referee

(Jakarta, 26/1/2014)
PP PBSI terus melakukan berbagai upaya dalam mengembangkan bulutangkis sebagai salah satu olahraga andalan dan kebanggaan negeri ini. Tak hanya gencar dalam meningkatkan prestasi atlet, pengembangan technical official juga dilakukan PP PBSI. Salah satunya adalah dengan mengadakan ujian referee nasional 2014 di Pelatnas Cipayung, Jakarta Timur, 26-29 Januari.

Bukan perkara mudah menjalankan program pengembangan referee di Indonesia. Berbagai kendala mewarnai aplikasi program ini seperti kemampuan berbahasa Inggris, serta minimnya jumlah referee daerah, terutama dari daerah-daerah di luar DKI Jakarta.

“Sebagain besar referee dari DKI Jakarta, di daerah lain masih sedikit. Tak jarang di tiap provinsi hanya ada satu wakil saja,” kata Basri Yusuf, Kabid Pengembangan PP PBSI dalam presentasi di hadapan peserta ujian.

“Target PP PBSI di tahun 2014 adalah meningkatkan jumlah ini. Bahkan di tahun 2015 diharapkan ada wasit yang mampu meraih certified referee BWF (Badminton World Federation) sehingga tahun 2016 bisa menggantikan posisi Juniarto Suhandinata, referee internasional asal Indonesia yang akan pensiun,” imbuhnya.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, PP PBSI mengimbau kepada peserta-peserta ujian referee nasional 2014 agar dapat lebih pro aktif dalam memotivasi rekan-rekan di daerah untuk berpartisipasi. Apalagi, menurut Basri, Indonesia sudah punya dua modal dan sarana utama untuk menjalankan program pengembangan referee yaitu banyaknya jumlah pemain dan turnamen yang digelar.

Sementara itu, kendala bahasa dianggap sebagai masalah utama dalam program pengembangan referee di Indonesia. Seperti dituturkan Basri, terdapat dua wakil Indonesia yang dinyatakan tidak lolos ujian pada tahun 2013 di Kudus, Jawa Tengah, karena kurangnya kemampuan berbahasa Inggris.

“Kami tak mau hal ini terulang lagi, oleh karenanya, PP PBSI akan memberikan support terkait dengan kendala bahasa,” ucap Basri.

“Rata-rata kendalanya adalah bahasa, memang ini masalah nomor satu. Karakter pribadi juga menjadi penentu. Orang yang pemarah dan tidak mau tahu soal perkembangan terbaru, tidak cocok jadi referee,” pungkas Juniarto.

Sementara itu, menurut Edy Rufianto, salah satu wasit tingkat internasional asal Indonesia yang juga mengikuti ujian referee, bukan cuma bahasa yang menjadi masalah. Tetapi tingkat intelejensi juga menentukan kualitas seorang referee.

“Kendala bahasa memang masalah yang umum dalam mencari referee di Indonesia. Tetapi selain itu, mencari referee dengan tingkat intelejensi yang cukup juga tak mudah. Referee tidak boleh salah menginterpretasikan masalah, bisa berbahaya,” ujar Edy. (*)